Laman

Minggu, 15 Mei 2011

Ada sebuah kisah cinta
yang terungkap tanpa kata-kata
yang terlahir dari hati,
karena cinta ?
adalah bahasa isyarat tentang hati…
Meski jauh dipisahkan pulau
tapi rasa telah menyatu membelai nurani ‘tuk slalu merindu…
Jauh dipisahkan pulau
tapi cinta seakan memahat diruang makhligai angan-angan…
Jauh terasa,
kisah cinta yang melangkah dari episod-episod kehidupan
hingga sumpah dan janji terukir tanpa terpikir
bila jodoh hanya kepunyaan Sang Chalik…
Dua sejoli anak Adam dan Hawa
kini dalam bakhtera cinta tanpa dan kemudi,
dan seketika badai diutus Sang Chalik
s’bagai penguji,
datang menghadang bakhtera cinta mereka
lalu bakhtera cinta terombang ambing tanpa restu Orang Tua
hingga dayung hati yang patah entah salah siapa ???
Dua sejoli anak Adam dan Hawa
masih dalam bakhtera cinta tanpa keyakinan
menangis dan mengemis dikaki langit
tapi Sang Chalik sepertinya pelit…
menangis dan mengemis dikaki langit
namun takdir tlah mengalir
cinta mereka bagai langit dan bumi
yang kini Terhalang Matahari.
jika diam bisa beri ketenangan
diamlah
tak usah pandang aku
tak perlu senyum itu
aku manusia tak pantas ditunggu
tak guna ditunggu
kita lepaskan saja genggaman ini
lalu ber lari
tak mengapa…..
retak secubit begini tak perlu kita lubangkan
sia2 kita rubuhkan
jika dalamnya hati kita masih berbagi
LUKA
Nyata sudah aku menangis kini
maaf, kurasa luka di dada
terlalu parah untuk tidak
dikatakan dengan airmata
perlahan aku merangkak menuai
kisah usang dari masa lalu
seiring membusuknya luka
menghempaskan diri pada nestapa
kurasa gelap, namun indah
aku telah mati
dikubur luka, ditumbuhi duka abadi




GERIMIS
Gerimis kali ini kau datang
bersama sepatah kata
membasuh luka
Rintik kecil nyaris terabaikan
jatuh ke tanah
mati dipendam dendam
Kau masih melangkah
berkata dengan airmata
terungkap olehku
penyesalan terganti lara




LAUTAN DUKA
Seseorang dalam lautan duka
mengayuh perahu penuh luka
di perairan darah cinta
Menghirup asap penguapan cinta
lalu mabuk akan duka dan cita
perahu diam bersandar
antara kau dan aku :
Ada jarak.
mungkinkah qu terlalu mencintaimu…
hingga ku tak bisa lupakanmu
ataukah qu terlalu menayangimu…
hingga qu tak bisa hidup tanpamu
kasih..
bila ku sadari,,,
mengapa rasa ini terlalu kuat,,
aqu tak mau semua yang terindah
yang pernah ada slama ini,,,
terbuai oleh kejamnya rasa cinta
yang harus rusak karna ke egoisan semata….
Dsni aku menanti,
disni aku menepi…
menanti bayangmu hadir menyapa sanubariku…
hati membisu…
membeku terpaku meratapi jalanya waktu…
ingin ku hempaskan…
ingin kuluapkan…
dengan segenap rasa yang jauh membumbung melayang tinggi…
di sini aku menunggumu tanpa tepi…
disini aku menunggumu tanpa waktu…
wajahmu hadirkan sejuta pesona penyejuk jiwa…
senyumu hiasi langkah di setiap kaki melangkah..
menunggu…
menanti…
ku rinduimu…
ku sayangimu…
Dsni Aku Merindukanmu…
rindu akan belayan dekapan kehangatan akan jari-jemarimu…
aku merindukanmu
Mengapa masih ada air mata mengalir
ketika cintaku ikhlas kulepas
Mengapa masih ada rindu
ketika kau tak ada lagi di sisiku
Mengapa harus ada amarah
ketika kau tak pedulikanku
Mengapa harus ada kata mengapa
ketika semuanya aq coba lepaskan
ketika semuanya aq ikhlaskan
ketika aq coba mwnghapus bayanganmu dalam benakku
kenapa masih ada pengharapan
ketika tak mungkin ada harapan
Bantu aq ya Allah
untuk bisa melupakan semua
untuk bisa mengahapus semua kenangan
hingga tak pernah ada rasa sakit yang begitu dalam
hingga tak ada lagi kata MENGAPA ……..
Dinginnya malam
menusuk jiwaku yang sepi
terasa…menyayat hati…
Aku rindu..
aku rindu saat kau menyentuhku
saat kau membelaiku,saat kau memelukku
adakah disana kau pikirkan aku?
akankah kau rasakan hampanya jiwaku tanpamu?
mengapa hanya luka yang kau beri?
tak bisakah kau beri cinta untukku?
mengapa kau harus tinggalkanku?saat aku benar2 mencintaimu
tak bisakah kau tetap bertahan disini menemaniku?
Aku hanya bisa katakan
Aku kangen kamu
Aku masih mengharapkanmu
Dan aku masih…
Mencintaimu
Meski sejenak bertemu, aku bahagia bisa kembali melihatmu
Di batas-batas kerinduan dan kehampaan tak terasa airmata menetes di pipiku
Hati yang mati suri, tiba-tiba terjaga dan berkata bahwa sesungguhnya rasa masih ada
Baru kumengerti bahwa rasa tak pernah pergi dan sepertinya takkan terganti
Sekeras apapun kumencoba, selemah apapun daya tuk mengingatnya
Hati miliki pilihannya sendiri yang tak bisa diatur oleh akal
Kukira aku sudah berhenti berharap di sekian waktu yang lalu
Kukira aku tak punya lagi hasrat untuk bertemu
Kukira aku takkan lagi melihatmu seindah seperti dulu
Hingga kemarin aku tahu bahwa segalanya tak ada yang berubah
Hanya setumpuk perkiraanku saja yang salah

Ijinkan Q melihatmu walau hanya sebentar saja...............


Pernahkah ada duka dalam seulas senyum???
 

Cukuplah pemiliknya yang tahu
 

Pernahkah ada perih dalam sesungging senyum???
 

Biarlah pemiliknya yang sadari
 

Tak perlu risaukan makna senyum itu…
Mungkin hatiku sudah terlalu sakit
 

Mungkin lukaku sudah terlampau dalam
 

Hatiku jadi begitu lumpuh untuk merasakan simponimu
 

 
 

Aku tidak tahu berapa jauh lagi langkahku
 

Aku tidak tahu berapa banyak air mataku yang harus jatuh
 

Aku tidak tahu berapa banyak kebaikan yang sudah kau buat untukku
 

Untuk sekedar menghentikan raguku
 

Jangankan kamu, aku saja tidak tahu
 


 

Bukannya maaf itu tidak berguna
 

Mungkin hatiku harus diganti dengan yang baru
 

Kasih Tuhan-ku terlalu agung untuk kulewatkan dengan hati yang rapuh
 

Rapuh oleh guyuran air mata duka yang tiada putusnya
 

Duka usang yang tidak mungkin berubah
 

Meski habis air mataku menyayangkannya
 

 
 

Mungkin aku butuh waktu
 

Untuk memahami gelombang jiwaku sendiri
 

Asa ini terlalu berat untuk kutanggung sendiri
 

Tapi siapa yang bisa membantuku?
 

Jika yang kusesali hanya lembaran-lembaran usang
 

Tak bisa berubah, bahkan membatu menjadi sejarah
Jika Tuhan memberiku kesempatan,
 

Ingin rasanya bercengkrama dengan waktu
 

Sekedar bertanya, ingatkah ia dengan kisahku
 

Dasawarsa silam yang penuh roman
 

Mengais aroma cinta yang tak jua padam
 

Harap dalam gelap
 

Rindu dalam senyap
 

Antara ada dan tiada
 

Kisah dua rana bermula
 


 


Jika sang waktu ku tanya,
 

ia pasti tak berubah
 

Detik, menit, dan jamnya tetap sama
 

Aku mencoba mengangguk, meski batinku berteriak ‘Berhentilah berputar’ aku masih ingin di sini
 

Aku terus saja meneriakkan kalimat batinku, hingga tanpa kusadari waktuku benar-benar pergi
 


 


Aku belajar bercengkrama dengan waktu yang lain
 

Ingin kucatat hariku dengan tinta yang sama,
 

Tapi sayang…
 

Penaku patah, lalu hilang entah kemana
 

Aku hanya sanggup melukis kisah itu dalam benakku,
 

Hingga kelak akan kuukir dalam kertas tulisku saat aku punya pena baru
 


 


Sang waktu terus saja mengantarku
 

Membisikkan kisah-kisah itu agar kuingat
 

Untuk dikenang
 

Jadi peringatan
 

Jadi bentuk syukur
 

Jadi penanda kebeningan sukma yang kuabaikan…
 


 


Dasawarsaku mencatat…
 

Adamu akan abadi sebagai kekasih, namun jalannya aku tak mengerti
 

Adamu menyanjung hati, menyejuk hari, membias kasih, namun ku tak bisa melepas yang abadi
 

Adamu mengajariku mengerti pilihan, pengorbanan, penantian, berbesar hati, tapi lagi-lagi aku tak bisa mengiring langkahmu lebih jauh lagi
 

Adamu membuatku makin kuat memapah ego-ku, menatap mata elangmu dan mengajakmu pada debat yang akhirnya sependapat. ‘Aku tak ingin bertengkar denganmu’ begitu kalimat peluruh, yang sama sekali tak bisa meluruhkanku.
 


 

Entah ada berapa kamu-kamu lagi yang tercatat dalam dasawarsaku, tapi semuanya tetap sama tak ada yang bisa membuatku bergeming. Bahkan untuk sekedar mencoba berbagi senyum, yah…kecuali sedikit
 


 

Sampai suatu ketika, dasawarsaku berhenti mencatat!
 


 


Mungkin saat itu aku terdampar,
 

Atau sekedar ingin jalan-jalan
 

Menikmati hembusan angin lain yang ternyata ‘SAMA’
 

Pada bilangan itu aku belajar tersenyum,
 

benakku berujar ‘Horeee…aku punya pena lagi, aku bisa menulis lagi’
 

Girang seluruh hari kulewati
 

Berharap akan kucatat dasawarsaku dengan tinta yang baru
 

Tapi…Sorakanku tiba-tiba terhenti
 

Aku terdiam mematung saat kudapati pena patahku tergeletak lesu di meja kerjaku, hampa…
 

Kupandangi lekat pena itu, kuperiksa setiap sisinya,
 

Tanpa berani menyentuhnya
 

Karena digenggamanku ada pena baru yang kudapat dari dasawarsaku
 


 


Ingin rasanya marah pada pena tuaku
 

Siapa yang telah membawamu pergi?
 

Hingga aku tak bisa menulis lagi
 

Hingga catatan dasawarsaku tak bisa kusambung lagi
 

Dan hari ini, saat aku ingin menulis dengan pena baruku,
 

Wujudmu hadir tanpa pernah permisi
 


 


Yah…memang hanya sebatang pena
 

Tapi andai ia punya rasa
 

Ia pun ingin merasakan waktu
 

Kupandangi sekali lagi pena tuaku
 

Kali ini kusandingkan ia dengan penaku yang baru
 


 


Tentu yang tua sudah lusuh
 

Aku hapal benar warna tajam tintanya saat digoreskan
 

Aku paham betul saat lelahnya dan saat indahnya tatkala ia mencatat dasawarsaku
 

Kualihkan pandangan ke pena baruku, cantik, aku tersenyum memandanginya
 

Ada rasa puas saat aku bisa memilikinya
 

Pena pemberian, entah dari dasawarsa yang mana
 


 


Sang waktu tak pernah membiarkanku jadi manusia rakus
 

Dasawarsaku hanya butuh satu pena
 

Aku mulai bingung tak tau harus mengambil yang mana
 

Nafsuku meminta yang baru
 

Karena pena tuaku telah patah
 

Layak diganti dengan yang baru
 


 


Tapi hatiku tak bisa dusta
 

Betapa dasawarsaku hanya diisi oleh catatan dari tinta tajam pena tuaku, tak ada yang lain
 


 


Ku biarkan sang waktu berlalu
 

Ia yang kuberi kehormatan untuk memilihkanku
 

Sementara waktu, kubiarkan kedua pena itu menghuni meja kerjaku,
 

Tanpa ada yang kusentuh
 


 


Hingga suatu hari…
 

Sang waktu membawakanku secarik kertas putih…
 

Aku tergerak untuk mengisi kertas itu dengan tulisan dari pena-penaku
 

Toh hanya pena,
 

Aku bisa memakainya bergantian
 

Dan…aku hanya mencoba
 

Sampai salah satu dari penaku digilas oleh waktu
 


 


Pertama, kucoba dulu pena tua-ku
 

Yaaah seperti biasa,,,
 

Ia bisa menulis sesuai instruksi jari-jariku
 

Tintanya tajam, hurufnya jelas, pesannya tegas
 

Aku senang melihatnya
 


 


Kedua, kucoba memakai pena baruku
 

Satu dua huruf kutulis
 

Dua tiga kali kuulangi
 

Namun tak ada tinta yang bisa kulihat
 

Tak ada tulisan di atas kertas putihku
 

Sedih rasanya jiwa ini
 

Menatap rupa tak dapat pengerti
 


 


Dalam lesu-ku, sesosok tubuh datang menghampiri
 

Membawa kertas legam tak berisi
 

Tanpa berucap kata, diambilnya pena itu dari tanganku
 

Lalu…ditulisnya beberapa patah kata pada kertas hitam itu
 

Ternyata…jelas! Bisa terbaca dan aku mengerti
 

Orang itu memandangiku dengan tetap menggenggam pena baruku
 

Seolah berharap aku berkenan memberikan untuknya
 


 


Aku hanya tersenyum, tak ada yang kuucapkan
 

Aku kemudian berlalu dari hadapannya sambil membawa kertas putih dan pena tuaku
 

Kini di meja kerjaku hanya ada tumpukan kertas putih bersama sebatang pena tua yang telah kusambung patahannya
 

Hanya fisiknya yang cacat, tintanya masih sama seperti yang dulu
 

Sama dengan catatan dasawarsaku
 


 


Aku berterima kasih pada Sang Pemilik kehidupan
 

Yang telah membuat sang waktu memilihkanku
 

Sesuatu yang kubutuhkan,
 

Mengisi catatan dasawarsaku
 

Tak pernah usai
 

Menanti dan menemani semerbak keabadian kasih…
Saya tidak pernah menyebut, lebih tepatnya tidak sepakat menyebut suatu periode angka tahun adalah kegelapan. Bagiku setiap manusia, bahagia dan sengsara tergantung pada sikapnya. Memandang setiap takdir sebagai rahmat, ujian, atau mungkin bencana.
Tahun ini, jika dibentang lembaran takdir yang telah kulewati, mungkin yang terlihat hanya gelap. Tapi nuraniku mengelak, betapa pun sakitnya pasti pernah bahagia, meski hanya beberapa saat saja. Neraca takdir bagiku memang selalu adil.
Jika dalam tulisan ini hanya ada mendung, maka sepertinya aku menulisnya dalam badai. Hati yang sedikit terluka dan jasad yang sedikit lelah.
Tahun ini adalah cadas. Berkali-kali aku diamuk badai, sekali-kali aku diantar ke tepian, warna duniaku begitu gelap.  Sedikit saja yang aku inginkan, tenang… tapi rasa tenang itu tak jua bisa ku reguk… kendati telah kuretas gelombang asaku menjadi serpihan riak riak kecil… namun tetap saja ricuh…hati serasa penuh gelombang, alam boleh sunyi, tapi mengapa hatiku tak kunjung sunyi…sunyi dari perdebatan manakah yang benar? Mengapa harus begini?
Terkadang aku harus sadar, ini adalah takdirku…aku tidak hendak menuntut kepada Allah, karena rasaku tak pernah mengelak, rasa sakit ini hanya di beberapa sisi kehidupanku, bukan seluruhnya…



Ibarat jasad yang tlah terkubur, raga itu harusnya tak berbau lagi. Begitu pun dengan luka ini. Mereka mungkin sudah lupa, yah… mungkin hanya aku yang ingat betapa sakit semua ini kulewati.
Memang, hanya sebuah kaset usang, semua orang bahkan melupakannya, tak terkecuali diriku. Disaat-saat tertentu, aku bisa lupa dengan luka-luka itu. Lalu tersenyum bersama dengan mereka.
Sesaat, aku bersyukur, lukaku sudah mengering, tanda akan sembuh. Bahkan mungkin sudah sembuh. Semoga…
Namun terkadang aku merasa bingung dengan diriku, rasa sakit itu bisa muncul kapan saja, di mana saja, seperti penyakit yang tak dapat kukendalikan. Tiba-tiba saja kambuh, sakit… saat ku sadar air mataku tak dapat lagi ku bendung… rasanya tak ada lagi cinta, tak ada lagi kebahagiaan, tak ada lagi asa yang kuharapkan… hampa… salahku telah mengharap kesetiaan manusia…
Yang tak kupahami, mengapa kaset usang itu tak kunjung rusak? Mengapa rasa sakit itu tak kunjung pulih? Mengapa luka itu masih saja bernanah? Pilu hatiku bukan karena buruknya pekertimu, tapi justru ketulusanmu kepada mereka yang seolah menjadi ancamanku. Saat keluhuran itu makin menyatu dengan jiwamu, rasa sakit itu makin menghujam pilu, seolah rasa cemburuku tak mampu lagi bersembunyi dari rona wajahku…
Andai kau pernah tahu, berapa musim yang kulewati untuk menahan tahtamu di jiwaku… berapa jiwa yang kukorbankan untuk sekedar menahan posisimu. Tapi aku tak hendak menuntut balas untuk setiap detik penantianku, aku hanya ingin luka ini sembuh. Luka yang kau gores pelan di seluruh kisi hatiku.
Tolong… tolong bantu aku membuang semua memori kaset usang itu, pahamilah aku, meski aku tau kau tak akan pernah bisa mengerti mengapa semua itu begitu melukaiku.
Mungkin terlalu banyak yang aku tau. Masa lalumu yang harusnya tak aku tau, tapi entah mengapa kabar itu sampai juga ke telingaku, meski aku tak pernah berusaha mencari,1x pun aku tak hendak tau siapa mereka yang sudah mengambilmu dari hidupku.
Mungkin aku terlalu jahat, selalu saja mengungkit isi kaset usang itu, tapi apa dayaku, ketika setiap saat kau mencoba menghibur atau memberi kebahagiaan untukku, yang kuingat hanya mereka,, yah mereka yang lebih banyak merentang waktu bersama hari-harimu. Dibanding aku, aku yang sangat jauh dari jasadmu, bahkan tak pernah hapal sketsa kulit tubuhmu.
Aku memang tak butuh tau siapa mereka itu, yang aku ingin tau, mengapa mereka ada di antara dusta-dustamu atas statusku? Tega… tega memang kau perlakukan aku… saat aku berjuang mempertahankan dirimu dari arjuna-arjuna itu, saat yang sama justru kau campakkan aku dengan dusta-dustamu… Sakit Tuhan………… sakit………… sakit karena akhirnya aku tau, mereka tak sekedar teman, tak sekedar ada, tapi terlibat dalam janji, I’tikat, dan mungkin juga lebih dari itu… pastinya aku tau lebih dari itu… tidak ku sangka, pekertimu pada mereka justru menghancurkan jiwaku, hingga hari ini, hari ini saat aku tiba-tiba tersadar akan gelisah jiwaku…


Yah… ini memang hanya kaset usang, tak layak disesali karena semua takkan kembali, waktu tak bisa diputar, dan aku memang tidak pernah punya pilihan. Aku bukan pengkhianat, jadi tak layak ku khianati ikrarku karena pengkhianatanmu. Aku hanya akan pergi jika pasti dalam pandangku, bahwa kau pergi dengan salah satu dari mereka, seperti yang kulakukan waktu itu.
Tapi inilah takdir kita, takdir yang harus kita lewati, bahwa aku dan dirimu harus melewati ujian ini, sekedar pengikat bukti, bahwa kasih kita akan senantiasa ada, tak pernah pudar memang, tapi butuh perjuangan untuk mengikatkannya. Hanya aku tak yakin, bisa bertahan lebih lama, jika ada badai baru yang mengusiknya. Aku lelah, lelah selelah-lelahnya…