Laman

Senin, 21 Maret 2011

Satu hal yang akan selalu dinantikan oleh kita...
Tuk merenungkan indahnya malam pertama...

Tapi bukan malam penuh kenikmatan duniawi semata...
Bukan malam pertama masuk ke peraduan Adam Dan Hawa....
Justru malam pertama perkawinan kita dengan Sang Maut....
Sebuah malam yang meninggalkan isak tangis sanak saudara....
Hari itu...
mempelai sangat dimanjakan.. .
Mandipun...harus dimandikan.. .
Seluruh badan Kita terbuka....
Tak Ada sehelai benangpun menutupinya. .
Tak Ada sedikitpun rasa malu...
Seluruh badan digosok dan dibersihkan. ..
Kotoran dari lubang hidung dan anus dikeluarkan. ..
Bahkan lubang - lubang itupun ditutupi kapas putih...
Itulah sosok Kita....
Itulah jasad Kita waktu itu....
Setelah dimandikan.. .,
Kitapun kan dipakaikan gaun cantik berwarna putih....
Kain itu ....
jarang orang memakainya..
Karena bermerk sangat terkenal bernama Kafan...
Wewangian ditaburkan ke baju Kita...
Bagian kepala.., badan. ..,
Dan kaki diikatkan...
Tataplah.... tataplah. ..
itulah wajah Kita saat itu....
Keranda pelaminan langsung disiapkan...
Pengantin bersanding sendirian... .
Mempelai di arak keliling kampung bertandukan tetangga...
Menuju istana keabadian...
sebagai simbol asal usul Kita.... Diiringi langkah gontai seluruh keluarga....
Serta rasa haru para handai taulan....
Gamelan syahdu bersyairkan adzan dan kalimah Dzikir....
Akad nikahnya bacaan talkin...
Berwalikan liang lahat..
Saksi - saksinya nisan-nisan. .
yang tlah menetap terlebih dulu...
Taburan berbagai rupa bunga....
Dan Siraman air mawar..
Menjadi pengantar akhir kerinduan... .
Dan akhirnya.... .
Tiba masa pengantin menunggu... Dan ditinggal sendirian...
Tuk mempertanggungjawab kan seluruh langkah kehidupan...
Dan inilah saatnya....
Malam pertama bersama KEKASIH..
Ditemani rayap - rayap...
Dan cacing tanah...
Di kamar bertilamkan tanah..
Dan ketika 7 langkah tlah pergi....
Datangkah tamu pertama....
Cahaya yang mengucapkan selamat datang...
Yang menanyakan sejarah kehidupan...
itulah tugas sang Malaikat...
Kita tak tahu....
Apakah akan memperoleh Nikmat Kubur...
Ataukah Kita kan memperoleh Siksa Kubur.....
Kita tak tahu...
Dan tak seorangpun yang tahu....
Tapi anehnya....
Kita tak pernah galau dan khawatir... ..
Padahal kita tak tahu....
Nikmat atau siksa yang kan kita terima....
Kita sungkan sekali meneteskan air mata....
Seolah barang berharga yang sangat mahal...
Dan Dia.....
Kekasih itu..
Menetapkanmu ke syurga..
Atau melemparkan dirimu ke neraka..
Tentunya Kita berharap menjadi ahli syurga...
Tapi....tapi .....
sudah pantaskah sikap kita selama ini...
Untuk disebut sebagai ahli syurga
Pernahkau kau lihat aku? Yang tersuruk menderita rindu antara waktu. Kau lupa. Karena kau, aku pernah terjaga. Ini bukan sembarang hati. Ini tempat, di mana aku, kamu…dan cerita kita dini hari.



Rasanya sakit. Seperti di cabik, pada saat nyawa masih melekat, dan nafas masih beraturan. Aku, seperti dibiarkan mati perlahan.
Aku pernah bahagia. Walau tak nyata. Mungkin bersamamu hanya serupa mimpi. Yang indah, namun tiada abadi.
Aku merindumu seperti alunan lagu. Yang dentuman dan baitnya nada berima. Sama dengan detak jantungku
Aku merindumu dengan inginku. Dengan letihku. Dengan sedihku. Dan kamu, akan menghilangkan semua itu.
Aku merindumu seperti candu. Yang kau bakar pelan-pelan. Tolong! Jangan biarkan ku mati perlahan.
Aku merindumu dengan sombongku. Dengan angkuhku. Walaupun kau ada dihadapanku, aku tak akan mengaku!
Aku merindumu dalam marah. Setelah pendar emosi yang gerah. Aku akan bakar semua pilar hatimu yang goyah.
Aku merindumu dalam diam. Kusampaikan dengan bisik halus pada malam. Berharap kau mengerti dan paham
Aku ingin mengecupmu pagi ini. Serupa kecupan ringan, yang akan kau bawa membekali harimu yang sibuk dan penat.
Aku ingin membuatmu tahu, bahwa aku sangat kecil, sebegitu kecil, sehingga tak sanggup kau letakkan di manapun, selain di hatimu dan otakmu. Kau akan membawamu selalu.
Aku. Akan merindukanmu dengan tak sopan. Seperti senja yang berkejaran menanti malam. Dan Pagi yang tersindir senyuman dini hari. Saat aku, kamu, bergentayangan memulai hari.
Aku akan memberikanmu waktu. Aku tahu, ini serba sulit untukmu.
Aku hanya akan berdiam. Pada linimasa yang berteriak, aku coba kumpulkan hatiku yang sempat hancur terserak.
Tapi kamu meyakinkanku. Bahwa apa yang terlihat oleh mata, sering kali tak teraba oleh jiwa. Aku, adalah keseimbanganmu untuk itu semua.
Pagiku kali ini gerimis. Setiap tetesannya membawa kembali segala kisah dan ingatan tentangmu. Basahnya membuatku pasrah. Dan kepada keadaan, aku hanya bisa berserah.
Mari bicara tentang hati, siapa yang paling mengerti. Jika secuil penantian ini bersandar pada harapan. Aku ingin kau tau, bahwa aku tak ingin meraba masa depan.
Aku hanya ingin menikmati waktu ini. Denganmu. Bersama mu. Dan segala sesuatu yang entah apa kelak meramu.
Rindukanlah aku, seperti aku merindumu. Seperti bisik-bisik ranting dedaunan kepada burung hantu yang terjaga sepanjang malam. Aku, akan menantikanmu saat matahari mulai padam. Saat itulah, kamu bisa menyapaku dengan ramah, dan dengan segala ceritamu yang panjang tentang malam.
Kamu pernah bilang. Lelah, selalu kalah. Lantas bagaimana dengan jenuh, cemburu, dan ragu-ragu. Pernah berpikir menyerah? Seperti aku yang menyerahkan telinga untuk mendengar. Dan waktu untuk berbagi. Tak sengaja, kamu mengambil sedikit hati.
Jika hati yang sedikit sedemikian sakit. Katakan, seberapa luka yang menganga jika kau bawa seluruh serta?


Senja saat kita tidak bersama terasa hampa. Tadinya, saat aku berpikir bahwa tanpamu aku akan sia-sia. Tapi serupa rencana yang tak pernah ku kira. Aku dapat cecap rasa, bahagia, dan segalanya yang tak pernah begitu jelas saat kau tak ada. Ketika perasaan ini terluka. Dia akan terbuka. Seperti keberadaanmu, yang mungkin, tidak pernah benar-benar meninggalkan hatiku.



Aku remuk karena sedihmu.
Aku jilati setiap air mata yang luruh dan basah di pipimu.
Lantas aku hibur kamu dengan segala rayu dan cumbu mautku.
Mungkin kamu akan lupa.
Mungkin kamu akan menanti rasa.
Erangan yang pernah kita buat. Segala maksiat yang melaknat.

Lantas subuh sudah mengintip, di ujung hari yang mulai memadat.
Aku ingin meralat salahku. Mengulang tindakku.
Memelukmu erat-erat pada pinggangmu yang kuat n dadamu yg bidng
Kita memang tetap bersama. Ada dan tanpa luka.
Masing-masing jari kita akan tetap menaut pada sebuah janji yang tersudut melarut.
Kamu tersedu kembali.
Memerih luka lama yang tak kunjung sembuh.
Jangan sedih sayang, nanti aku hancur.
Bersuka sajalah.
Biar aku bahagia, walau harus berdarah lara.


Mungkin aku bukan rusukmu.
Dan tanpaku, kamu takkan mati dan tetap hidup.
Tapi hidupmu akan tanpa nyawa.
Karena regang nadimu, mengutas di uratku.
Pandangi langit hingga ke atas awan
Gumpalan mega menutup sinar rembulan
Remang-remang cahayanya menerpa daun-daun kering
Menembus celah-celah ranting yang terusik angin
Hening
Mengusik malam dalam hembusan dingin
Malam itu, aku hanya bisa menatap gelap. Hitam dan luas sangat nyaman
Kedamaian merasuk hingga tulang iga pun dapat merasakannya
Langit tak mungkin runtuh malam ini
Tak boleh terjadi
Biar saja langit disangga tiang-tiang tak terlihat mata, biar aku bisa menikmati malamku
Langit masih gelap terbias sedikit cahaya purnama
Langit tak akan runtuh malam ini
Andai di atas sana terbentang samudra biru
Dan pohon-pohon rindang nan hijau
Lengkap sudah arti kebahagiaan ini
Tak terusik oleh langit
Meski aku sudah tahu
Langit tak kan runtuh malam ini
Angkatlah tubuhku ke atas langit
Biar aku bisa melihat dunia dari atas sana
Menggapai mimpi-mimpi
Dengan kepakkan sayapku, sekali mengepak bersatu dengan dunia
Lepas semua beban
Yang menipu
Karena diriku ini tahu
Langit masih jauh
Dari runtuh
Aku menyesal mengapa harus mengenalmu
Aku menyesal mengapa harus hadir dalam hidupmu
Aku menyesal setelah kejadian itu
Aku harus mengenalmu
Aku ini tak mau mengenalmu sebenarnya
Tapi keadaan yang memaksaku
Aku harus menyelami kehidupanmu
Begitu jauh
Sangat jauh
Hingga aku terpaksa jatuh hati padamu
Aku terpaksa,
Tapi sungguh aku merasa tak bisa
Karena dirimu, begitu sempurna di mataku
Ingin aku membencimu
Sedalam-dalamya
Tapi keadaan tak membolehkanku
Aku menyesal
Mengapa harus terlibat denganmu



Sedangkan aku tak bisa menyelami hidupmu
Aku masih awam mengenali sifatmu
Suatu saat nanti aku ingin bersamamu
Mengenal hidupmu jauh, mengerti tentangmu
Menguasaimu hingga dalam lubuk hatiku
Aku menyesal tak mengusaimu dengan indah
Bolehkah aku menunggumu?

Tuhanku
Andai kuberharap padamu
Apakah engkau menganggap hambamu ini
Hamba pengatur kuasamu?
Dan jika aku berdoa kepadamu
Bukankah aku tak menghargai takdirmu?



Ya Allah
Jika aku memohon kepadamu
Bukan karena aku ingin mengubah takdirku
Tapi karena aku lebih mengharap ridlomu
Ya Allah
Sungguhpun engkau memberikan garis yang tak kuinginkan
Namun kuanggap itulah yang terbaik bagiku
Meski jauh dari angan dan harapan
Aku yakin engkau yang maha tahu
Tuhanku
Bukannya hambamu ini tak mau berharap
Tapi hanya ingin menjaga sikap
Aku yakin akan apa yang engkau lakukan terhadap hambamu
Aku yakin akan kekuasaan ridlomu
Dan itulah sebenarnya yang kuharapkan darimu