Aku remuk karena sedihmu.
Aku jilati setiap air mata yang luruh dan basah di pipimu.
Lantas aku hibur kamu dengan segala rayu dan cumbu mautku.
Mungkin kamu akan lupa.
Mungkin kamu akan menanti rasa.
Erangan yang pernah kita buat. Segala maksiat yang melaknat.
Lantas subuh sudah mengintip, di ujung hari yang mulai memadat.
Aku ingin meralat salahku. Mengulang tindakku.
Memelukmu erat-erat pada pinggangmu yang kuat n dadamu yg bidng
Kita memang tetap bersama. Ada dan tanpa luka.
Masing-masing jari kita akan tetap menaut pada sebuah janji yang tersudut melarut.
Kamu tersedu kembali.
Memerih luka lama yang tak kunjung sembuh.
Jangan sedih sayang, nanti aku hancur.
Bersuka sajalah.
Biar aku bahagia, walau harus berdarah lara.
Aku jilati setiap air mata yang luruh dan basah di pipimu.
Lantas aku hibur kamu dengan segala rayu dan cumbu mautku.
Mungkin kamu akan lupa.
Mungkin kamu akan menanti rasa.
Erangan yang pernah kita buat. Segala maksiat yang melaknat.
Lantas subuh sudah mengintip, di ujung hari yang mulai memadat.
Aku ingin meralat salahku. Mengulang tindakku.
Memelukmu erat-erat pada pinggangmu yang kuat n dadamu yg bidng
Kita memang tetap bersama. Ada dan tanpa luka.
Masing-masing jari kita akan tetap menaut pada sebuah janji yang tersudut melarut.
Kamu tersedu kembali.
Memerih luka lama yang tak kunjung sembuh.
Jangan sedih sayang, nanti aku hancur.
Bersuka sajalah.
Biar aku bahagia, walau harus berdarah lara.
Mungkin aku bukan rusukmu.
Dan tanpaku, kamu takkan mati dan tetap hidup.
Tapi hidupmu akan tanpa nyawa.
Karena regang nadimu, mengutas di uratku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar